Langsung ke konten utama

Aku Perempuan Desa


Mimpi manusia pasti ingin menjadi seseorang yang terpandang, hidup serba kecukupan, mempunyai paras menawan, dihormati banyak orang, keluarga harmonis, jauh dari isu-isu jelek yang ada pembicaraan sanjungan. Semua yang indah dalam Dunia ini apa bila dilihat dari sepasang mata diinginkan manusia.

Begitu juga aku seorang perempuan remaja yang hampir mendekati dewasa menurut teori dengan ukuran umur 20th, aku tinggal disebuah Desa kecil yang hanya memiliki lima puluh kepala keluarga, Desa sebaris itu julukan yang tepat karena rumah-rumah disini berbaris dengan diapit pohon kelapa sawit setiap ingin masuk dan keluar Desa. Memang serasa seperti dihutan kata teman-teman perkulihan saat melihat foto-foto Desa yang pernah aku bawa.

Meski begitu dibandingkan dengan perkotaan disinilah tempat yang paling nyaman jauh dari kebisingan kendaraan, yang ada montor gerandong (orang sini menyebutnya) motor yang di modiv sedemikian rupa untuk membawa hasil panen melalu jalan becek dipersawahan. Jauh dari sentuhan masyarakat perkotaan dengan pekerjaan kantoran.

Hidup rukun saling berbagi, menyapa saat muncul dari jalan setapak menuju pesawahan atau perkebunan, bercerita hasil panen saat jam-jam istirahat lelah mencangkul, ibu-ibu yang juga aktif dalam segala bidang menanam, memanen, merawat tanaman bersama bapak-bapak, seorah tidak ada permasalahan gender yang disuarakan masyarakat urban belakangan ini. Pria wanita sama-sama bekerja hanya poksi saja yang berbeda apabila bapak membajak nanti ibu yang menanam padi disawah, tidak jarang juga bapak ikut menanam dan mencabut rumput teki pasca menanam.

Sangat banyak kebahagian di Desa kecil ini, tapi lagi-lagi banyak pemuda yang tidak menyadarinya, kebanyakan dari kami memilih merantau di pulau sebrang dengan alasan mencari pengalaman dan rezeki. Niat baik tentunya apa lagi hidup ini juga tidak bergantung pada bahagia dengan sederhana, ada kekayaan yang melengkapi kebahagiaan tiadatara.

Aku juga berfikir demikian haruskah aku ini pergi juga kepulau sebrang sana dengan niat yang sama juga, tapi aku ini perempuan yang mengutamakan perasaan bukan berati logika aku tidak jalan, karena hati ini mengarahkan ini "carilah kehidupan mu ditanah kelahiran mu", dan logika aku sependapat dengan hati, berfikir keras bagaimana pasca kuliah bisa tetap bersama masyarakat Desa, karna lagi-lagi hati ini berbicara disini kebahagianku.

Sekarang ini aku sudah berdamai dengan hati dan logika untuk mengambil titik tengah keputusan, selepas ini aku harus berjuang lagi membayar setiap tetes darah yang mengalir setiap detiknya. Bagaimana orang tua ku yang berharap akan balasan dari anak perempuanya meski tidak terucap tapi itulah yang aku rasakan, pundi-pundi kekayaan untuk membalas jasa kebaikan, merawat dan menyekolahkan ku sampai perguruan tinggi.

Aku harus bertengkar dengan jiwa ini logika dan hati saling berselisih kembali, pengorbanan atau lagi-lagi orang tua yang mengalah untuk kebahagian ku, sebagai pegawai kelurahan itulah cita-cita ku, sedikit tidak anehkan keinginan ku melayani masyarakat kecil bukan uang memang yang aku cari tapi rasa empati yang tersalurkan sebagai gaji. Rezeki hanya Tuhan yang tahu dan pekerjaan seperti apa nanti yang sudah ditetentukan olehNya, aku hanya bisa berencana sebagai persiapan masa depan.

Senja diruang gelap
Jum'at 10072020

Komentar